Malam satu suro dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru
menurut kalender Jawa. Malam satu suro jatuh mulai terbenam matahari
pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai
terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya (1
Suro). Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng
Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai
dari kompleks Kemandungan utara melalui gerbang Brojonolo lalu mengitari
seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam
dan berakhir di halaman Kemandungan utara. Dalam prosesi ini pusaka
keraton menjadi bagian utama dan ditempatkan di barisan depan kemudian
baru diikuti para abdi dalem keraton, para pegawai dan akhirnya
masyarakat. Yang unik adalah di barisan depan ditempatkan pusaka yang
berupa kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi
pusat perhatian masyarakat.
malam 1 Suro sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik, perubahan tahun tetapi juga mempunyai dimensi spiritual. Orang Jawa yakin bahwa perubahan tahun Jawa bertepatan dengan tahun Hijriyah, menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis.
Ritus tahunan malam satu suro pernah mengalami kemunduran. Kebudayaan lokal tampaknya pelan – pelan mengalami ancaman yang mengarah pada kepunahan. Para generasi muda tidak lagi memahami kebudayaannya sehingga dapat mengarah pada lunturnya identitas dan kehilangan karakter. Pemahaman dan minat terhadap aksara, seni, adat – istiadat, mengalami kemunduran. Hampir tidak ada lagi generasi muda yang mengetahui dan memahami aksara, seni, dan adat – istiadat warisan leluhurnya padahal hal itu mengandung nilai budaya berupa kearifan lokal.
Setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Syura, masyarakat memperingatinya dengan berbagai cara. Ada yang tirakatan, membaca tahlil, dan sebagainya. Khusus di Keraton Solo, peringatan itu ditandai dengan kirab.Upacara Malam 1 Suro (1 Muharam) merupakan tradisi peringatan pergantian Tahun Baru Jawa yang menjadi ritual tahunan dalam budaya Jawa. Pada peringatan tahun baru Jawa yang dilaksanakan pada hari Senin - Selasa, 6 - 7 Desember 2010, terdapat rangkaian upacara peringatan pergantian Tahun Baru Jawa atau Malam 1 Suro 1944 BE di Kabupaten Kulon Progo. Diselenggarakan sejumlah kegiatan ritual budaya di dua lokasi, yaitu di Puncak Suroloyo, Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh dan di Gunung Lanang, Desa Sindutan, Kecamatan Temon. Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kulon Progo bekerja sama dengan masyarakat dan komunitas seni di sekitar Puncak Suroloyo, Dusun Keceme, Kecamatan Samigaluh menyelenggarakan acara Kethoprak Lesung Tamba Lara. Dan pada saat yang sama di Gunung Lanang, Desa Sindutan, Kecamatan Temon juga dilangsungkan ritual Ruwatan Sukerto dan pagelaran wayang kulit.
Keesokan harinya, Selasa 7 desember 2010 atau tanggal 1 Suro 1944 BE atau 1 Muharam 1432 H di Puncak Suroloyo dilaksanakan Jamasan Pusaka Tombak Kyai Manggala Murti dan Songsong Kyai Manggala Dewa di Sendang Kawidodaren. Prosesi jamasan dimulai dengan kirab yang terdiri dari sesepuh dan tokoh masyarakat setempat, diikuti gunungan hasil bumi serta rombongan kesenian tradisional dari kediaman sesepuh Dusun Keceme menuju sendang Kawidodaren. Kedua pusaka tersebut dijamasi di Sendang Kawidodaren. Biasanya masyarakat dan pengunjung kegiatan ritual ini akan memperebutkan Udik-udik berupa hasil bumi. Banyak orang percaya bahwa hal ini untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar hasil pertanian semakin melimpah.
Sedangkan di Gunung Lanang akan diadakan Labuhan Uba Rampe Ruwatan yang akan dilabuh di Pantai Congot. Arak-arakan labuhan akan dimulai dari Sanggar Pamujan Gunung Lanang menuju ke Pantai Congot dengan membawa uba rampe ruwatan berupa sesaji berupa hasil bumi, potongan rambut dan pakaian para peserta ruwatan yang nantinya akan dilabuh di laut selatan.
Kedua rangkaian upacara ritual ini selalu dikunjungi oleh banyak wisatawan dan peserta upacara dari berbagai penjuru daerah dalam dan luar DIY, kebanyakan adalah pelaku ritual kejawen dan wisatawan yang ingin melihat peristiwa adat tahunan ini.
Lain halnya lagi di Surakarta, peringatan malam satu suro dilakukan dengan mengadakan berbagai ritual. Orang-orang Jawa menjalani laku ritual malem 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya. Lelakoning kanthi laku, yang dimaksud adalah laku spiritual. Setiap anggota masyarakat, anggota komunitas tertentu, atau institusi menjalankan tirakat dengan berbagai cara. Ada yang melakukan ritual selamatan dengan menyembelih korban binatang, beberapa orang mengumpulkan sejumlah dana untuk selamatan bersama, ada yang melakukan tapa brata, laku menyepi, iktikaf di masjid, dll.
Sedangkan di Karaton Surakarta atau di Mangkunegaran melakukan kirab dan jamas pusaka. Masyarakat berjalan mengelilingi keraton dengan harapan menyempurnakan laku sebagai orang Jawa. Tempat-tempat sakral menjadi ramai dikunjungi, terutama Karaton Solo dan Mangkunegaran, pantai Parangtritis, Kahyangan, Gunung Lawu, dan tempat para Dahyang bertempat tinggal.. Mereka ada yang dilakukan di rumah, di sanggar ada juga yang masjid dan di langgar, bahkan di jalanan.
Lain lagi di Solo, Setiap malam satu Syuro, di Pura Mangkunegaran menyelenggarakan Kirab Pusaka Malam 1 Sura. Dalam ritual itu KGPAA Mangkunagoro melepas kirab pusaka dengan berjalan dari Pringgitan menuju teras Pendhapa Ageng, ratusan warga yang berkumpul di Pendhapa Ageng saling berebut bunga yang disebarkan.
Demikianlah, selalu saja muncul peristiwa yang seakan-akan hendak menembus batas logika berpikir setiap kali peringatan malam 1 Sura digelar di Pura Mangkunegaran. Menariknya, berebut bunga atau udhik-udhik itu hanyalah salah satu di antaranya. Di luar itu masih ada peristiwa lain yang tak berbeda jauh.
Misalnya saat usai kirab pusaka. Sebuah pemandangan menarik kembali terjadi, ketika rute kirab itu kemudian disusuri kembali oleh puluhan warga, baik dalam bentuk kelompok maupun individu. Dengan berjalan kaki, mereka berlaku diam saat menyusuri rute kirab mengelilingi beteng Pura.
Bagi masyarakat awam, peristiwa itu barangkali dipandang sebagai sebuah keanehan yang sulit dipahami. Namun bagi yang masih meyakini tentu tidak demikian. Mungkin bunga atau rute kirab itu memiliki seribu makna yang melengkapi laku bagi yang masih memercayai.
Tak hanya di Pura Mangkunegaran, di Keraton Surakarta pun muncul peristiwa serupa saat kirab pusaka digelar. Hanya medianya yang berbeda. Tidak hanya bunga dan berjalan kaki, di sana masih ada lagi sarana laku lain yang sering menjadi rebutan warga yang hadir.
Sebut saja janur yang dipasang di sebagian sudut Kamandungan. Saat kerbau Kiai Slamet belum keluar, janur itu telah habis menjadi rebutan ratusan warga yang memadati halaman keraton. Sebuah pemandangan yang lagi-lagi mungkin akan dipandang tak masuk akal, jika cuma dilihat dari sudut kebendaannya.
Peristiwa yang lebih terasa aneh lagi terjadi saat kerbau Kiai Slamet dikirab berkeliling ke sebagian wilayah Kota Solo.
Pada saat itu kadang-kadang ada sebagian warga yang berusaha memperoleh kotoran atau tletong kerbau milik keraton tersebut, kemudian dibungkus dan dibawa pulang. Berbagai peristiwa aneh itu bagai tak pernah lekang oleh zaman. Selalu saja muncul tatkala malam 1 Sura datang di Keraton dan Pura. Seribu alasan pun terungkap. Ada yang menjawab untuk ngalap berkah, namun ada pula yang sekadar melakukan tradisi.
Kehadiran Kebo-kebo bule di tengah Kirab malem 1 Syuro oleh Karaton Surakarta Hadiningrat melahirkan beragam pertanyaan baik bagi turis asing maupun orang-orang di luar etnis Jawa, bahkan orang-orang Jawa sendiri. Stasiun TV nasional dan kantor berita asing pernah menanyakan kepada saya tentang makna apa yang termuat atas kehadiran kerbau-kerbau yang menduduki posisi terdepan dalam ritual kirab malem 1 Syura.
Bagi orang-orang Solo sendiri, Kebo Bule Karaton yang berjumlah 12 ekor tersebut dipercaya mempunyai mukjisat atau kekuatan gaib, termasuk binatang yang dikeramatkan. Banyak cerita seputar Kebo-kebo bule itu yang dianggap bukti adanya kekuatan gaib dan punya mukjisat dan keramat itu. Menurut kisahnya, orang-orang Pekalongan melihat Kebo Bule tersebut dan melaporkan ke Karaton, bagaimana mungkin sampai di sana yang jaraknya lebih dari 250 Km dari Karaton Solo. Juga pernah ada yang melihatnya sampai di Ponorogo Jawa Timur yang jaraknya lebih dari 100 km dari Karaton, di Wonogiri dan kota-kota lain.
Gaibnya adalah ketika ia mengembara ke berbagai tempat, tetapi mereka tidak pernah lupa akan tugasnya di malem 1 Syura. Tanpa diundang sebelum malam 1 Syura tanpa diketahui datangnya, mereka sudah berada di Karaton menunggu tugasnya yang mulia, Sang Penuntun (cucuk lampah) dalam kirab Karaton. Tidak diketahui bagaimana cara kebo itu pulang, tiba – tiba saja ia sudah berada di tempatnya.
Keramat.
Pelajaran Kebo Bule
Orang sering meremehkan keberadaan Kebo Bule karena mungkin sosoknya binatang. Pada hal, kebinatangannya sangat mulia dari kemanusiaan yang dipunyai manusia. Maka jangan sekali-kali melihat sesuatu makluk dari jenisnya, tetapi haruslah dilihat dari sifat dan karakter perilakunya. Tepat kiranya, para Raja Karaton Surakarta Hadiningrat akhirnya memilih dan menempatkan kedudukan paling depan kepada Kebo Bule itu, karena memang ia mempunyai nilai luhur yang patut dicontoh oleh manusia, sebagai Sang Penuntun.
Bayangkan saja, peranannya tidak tanggung-tanggung, sebagai cucuk lampah. Ini peranan yang utama dan sangat mulia. Ia adalah pengawal, penunjuk jalan, karena Raja melihat bahwa mata batinnya, meskipun fisiknya Kebo Bule, tetapi mempunyai daya linuwih dibandingkan manusia yang sudah terinfeksi oleh halunisasi dan virus-virus materi serta imajinasi surga dunia.
Tidak heran jika di malem 1 Syuro orang-orang ramai-ramai memperebutkan kotoran Kebo Bule. Ini adalah bukti nyata bahwa Kebo Bule mempunyai kekuatan gaib, yang dipercaya orang-orang Jawa mampu mendatangkan berkah. Bahwa yang sebenarnya, adalah bentuk penghormatan yang tinggi terhadap eksistensi dan kemuliaan yang dimiliki oleh Kebo Bule.
Agaknya, orang-orang Jawa memandang Kebo Bule bukan saja simbol, tetapi benar-benar menjadi panutan. Sebagai Sang Panutan, ia adalah binatang bijak, sabar dan kuat. Ia dengan sukarela menyerahkan dirinya untuk menjadi korban dalam ritual-ritual, ia dengan senang hati membantu petani membajak sawah di tengah terik matahari dan hujan lebat, ia pun di malam 1 Syura dengan tulus iklas dan suka cita, mengawal Raja Kasunanan, para Pangeran, Adipati, Tumenggung dan Pusaka-pusaka Keramat Keraton Surakarta Hadiningrat. dan bersyukur.
Penanggalan tahun Hijriah dan Tahun Jawa
Menurut Tahun Saka (Jawa) yang sekarang ini telah mencapai hitungan ke 1944. Untuk tahun ini datangnya tanggal 1 Suro 1944 bertepatan pada malam Selasa Wage tanggal 1 Muharram 1432 Hijriah atau 7 Desember 2010 Masehi.
Perbedaan kalender jawa dengan kalender Hijriah yakni kalender Jawa relatif lebih tetap sifatnya atau relatif tidak ada perubahan dari dulu sampai sekarang. Jikalau dilakukan penghitungan maka waktu jatuhnya lebih dapat di pastikan sementara kalender hijriyah mengikuti pergerakan bulan jadi bisa bergeser 1 hari / 2 hari.
Akan tetapi suroan acap kali dianggap sama dengan tahun Hijriah,
jadi misalnya untuk 1 sura 1945 tahun WAWU Windu Kuntara akan jatuh pada tanggal 27 November 2011. tanggalnya pasti, akan tetapi kalau 1 muharam bisa jadi kurang dari tanggal tersebut atau bisa lebih dari tanggal tersebut.
Ke dua sistem penanggalan tersebut memang sama - sama menggunakan sistem penanggalan Qomariyah atau lunar sistem, hanya saja yang membedakan ialah di kalender jawa sudah di pastikan 5 pasaran yang berulang dan 7 hari yang berulang
(jika menganut sistem saptawara).
Nama Hari Siklus 7 hari, Saptawara = Padinan:
Radite = Akad
Soma = Senen
Anggara = Slasa
Budha= Rebo
Respati = Kemis
Sukra = Jemuwah
Tumpak/Saniscara = Setu
Asal kata dan Arti nama Hari (Padinan)
Akad (minggu), berasal dari kata Arab “ahad”, yang berarti hari pertama.
Senen (Senin), berasal dari kata Arab “istnain”, yang berarti hari kedua.
Slasa (Selasa), berasal dari kata Arab “tsalatsah”, yang berarti hari ketiga.
Rebo (Rabu), berasal dari kata Arab “arba’ah”, yang berarti hari keempat.
Kemis (Kamis), berasal dari kata Arab “khamsah”, yang berarti hari kelima,
Jemuwah (Jum’at), berasal dari kata Arab “jumu’ah”, yang berarti hari untuk berkumpul,
Setu (Sabtu), berasal dari kata Arab “sab’ah” (sabat), yang berarti hari ketujuh.
Hubungan pasaran, empat unsur dan Sedulur 4 itu adalah sebagai berikut :
Pasaran Legi bertempat di Timur, Anasir (elemen) Udara, memancarkan sinar putih.
Pasaran Paing bertempat di Selatan, anasir Api, memancarkan sinar merah.
Pasaran Pon bertempat di Barat, anasir Air, memancarkan sinar kuning.
Pasaran Wage bertempat di Utara, anasir Tanah, memancarkan sinar hitam. Pasaran Kliwon tempatnya di pusat atau di tengah, anasir Eter, memancarkan sinar manca warna.
Dalam penetapan 1 Suro, pihak kraton menggunakan penanggalan atau kalender internal kraton yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang merupakan cikal bakal dinasti Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alaman di Yogyakarta.
Setiap malam 1 Suro Kraton Surakarta selalu menggelar rangkaian upacara adat kraton. Salah satu acara yang selalu mendapat perhatian umum adalah kirab pusaka milik kraton yang didahului dengan mengarak kawanan kerbau pusaka milik kraton.
Meskipun Istana Mangkunegaran merupakan salah satu pecahan dinasti Mataram, namun dalam peringatakan 1 Suro atau 1 Muharam, mereka menggunakan dasar kalender yang ditetapkan Pemerintah.
malam 1 Suro sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik, perubahan tahun tetapi juga mempunyai dimensi spiritual. Orang Jawa yakin bahwa perubahan tahun Jawa bertepatan dengan tahun Hijriyah, menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis.
Ritus tahunan malam satu suro pernah mengalami kemunduran. Kebudayaan lokal tampaknya pelan – pelan mengalami ancaman yang mengarah pada kepunahan. Para generasi muda tidak lagi memahami kebudayaannya sehingga dapat mengarah pada lunturnya identitas dan kehilangan karakter. Pemahaman dan minat terhadap aksara, seni, adat – istiadat, mengalami kemunduran. Hampir tidak ada lagi generasi muda yang mengetahui dan memahami aksara, seni, dan adat – istiadat warisan leluhurnya padahal hal itu mengandung nilai budaya berupa kearifan lokal.
Setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Syura, masyarakat memperingatinya dengan berbagai cara. Ada yang tirakatan, membaca tahlil, dan sebagainya. Khusus di Keraton Solo, peringatan itu ditandai dengan kirab.Upacara Malam 1 Suro (1 Muharam) merupakan tradisi peringatan pergantian Tahun Baru Jawa yang menjadi ritual tahunan dalam budaya Jawa. Pada peringatan tahun baru Jawa yang dilaksanakan pada hari Senin - Selasa, 6 - 7 Desember 2010, terdapat rangkaian upacara peringatan pergantian Tahun Baru Jawa atau Malam 1 Suro 1944 BE di Kabupaten Kulon Progo. Diselenggarakan sejumlah kegiatan ritual budaya di dua lokasi, yaitu di Puncak Suroloyo, Dusun Keceme, Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh dan di Gunung Lanang, Desa Sindutan, Kecamatan Temon. Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kulon Progo bekerja sama dengan masyarakat dan komunitas seni di sekitar Puncak Suroloyo, Dusun Keceme, Kecamatan Samigaluh menyelenggarakan acara Kethoprak Lesung Tamba Lara. Dan pada saat yang sama di Gunung Lanang, Desa Sindutan, Kecamatan Temon juga dilangsungkan ritual Ruwatan Sukerto dan pagelaran wayang kulit.
Keesokan harinya, Selasa 7 desember 2010 atau tanggal 1 Suro 1944 BE atau 1 Muharam 1432 H di Puncak Suroloyo dilaksanakan Jamasan Pusaka Tombak Kyai Manggala Murti dan Songsong Kyai Manggala Dewa di Sendang Kawidodaren. Prosesi jamasan dimulai dengan kirab yang terdiri dari sesepuh dan tokoh masyarakat setempat, diikuti gunungan hasil bumi serta rombongan kesenian tradisional dari kediaman sesepuh Dusun Keceme menuju sendang Kawidodaren. Kedua pusaka tersebut dijamasi di Sendang Kawidodaren. Biasanya masyarakat dan pengunjung kegiatan ritual ini akan memperebutkan Udik-udik berupa hasil bumi. Banyak orang percaya bahwa hal ini untuk mendapatkan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar hasil pertanian semakin melimpah.
Sedangkan di Gunung Lanang akan diadakan Labuhan Uba Rampe Ruwatan yang akan dilabuh di Pantai Congot. Arak-arakan labuhan akan dimulai dari Sanggar Pamujan Gunung Lanang menuju ke Pantai Congot dengan membawa uba rampe ruwatan berupa sesaji berupa hasil bumi, potongan rambut dan pakaian para peserta ruwatan yang nantinya akan dilabuh di laut selatan.
Kedua rangkaian upacara ritual ini selalu dikunjungi oleh banyak wisatawan dan peserta upacara dari berbagai penjuru daerah dalam dan luar DIY, kebanyakan adalah pelaku ritual kejawen dan wisatawan yang ingin melihat peristiwa adat tahunan ini.
Lain halnya lagi di Surakarta, peringatan malam satu suro dilakukan dengan mengadakan berbagai ritual. Orang-orang Jawa menjalani laku ritual malem 1 Suro dengan berbagai maksud, yang utama adalah perubahan hidup yang lebih baik di tahun akan datang yang akan dijalaninya. Lelakoning kanthi laku, yang dimaksud adalah laku spiritual. Setiap anggota masyarakat, anggota komunitas tertentu, atau institusi menjalankan tirakat dengan berbagai cara. Ada yang melakukan ritual selamatan dengan menyembelih korban binatang, beberapa orang mengumpulkan sejumlah dana untuk selamatan bersama, ada yang melakukan tapa brata, laku menyepi, iktikaf di masjid, dll.
Sedangkan di Karaton Surakarta atau di Mangkunegaran melakukan kirab dan jamas pusaka. Masyarakat berjalan mengelilingi keraton dengan harapan menyempurnakan laku sebagai orang Jawa. Tempat-tempat sakral menjadi ramai dikunjungi, terutama Karaton Solo dan Mangkunegaran, pantai Parangtritis, Kahyangan, Gunung Lawu, dan tempat para Dahyang bertempat tinggal.. Mereka ada yang dilakukan di rumah, di sanggar ada juga yang masjid dan di langgar, bahkan di jalanan.
Lain lagi di Solo, Setiap malam satu Syuro, di Pura Mangkunegaran menyelenggarakan Kirab Pusaka Malam 1 Sura. Dalam ritual itu KGPAA Mangkunagoro melepas kirab pusaka dengan berjalan dari Pringgitan menuju teras Pendhapa Ageng, ratusan warga yang berkumpul di Pendhapa Ageng saling berebut bunga yang disebarkan.
Demikianlah, selalu saja muncul peristiwa yang seakan-akan hendak menembus batas logika berpikir setiap kali peringatan malam 1 Sura digelar di Pura Mangkunegaran. Menariknya, berebut bunga atau udhik-udhik itu hanyalah salah satu di antaranya. Di luar itu masih ada peristiwa lain yang tak berbeda jauh.
Misalnya saat usai kirab pusaka. Sebuah pemandangan menarik kembali terjadi, ketika rute kirab itu kemudian disusuri kembali oleh puluhan warga, baik dalam bentuk kelompok maupun individu. Dengan berjalan kaki, mereka berlaku diam saat menyusuri rute kirab mengelilingi beteng Pura.
Bagi masyarakat awam, peristiwa itu barangkali dipandang sebagai sebuah keanehan yang sulit dipahami. Namun bagi yang masih meyakini tentu tidak demikian. Mungkin bunga atau rute kirab itu memiliki seribu makna yang melengkapi laku bagi yang masih memercayai.
Tak hanya di Pura Mangkunegaran, di Keraton Surakarta pun muncul peristiwa serupa saat kirab pusaka digelar. Hanya medianya yang berbeda. Tidak hanya bunga dan berjalan kaki, di sana masih ada lagi sarana laku lain yang sering menjadi rebutan warga yang hadir.
Sebut saja janur yang dipasang di sebagian sudut Kamandungan. Saat kerbau Kiai Slamet belum keluar, janur itu telah habis menjadi rebutan ratusan warga yang memadati halaman keraton. Sebuah pemandangan yang lagi-lagi mungkin akan dipandang tak masuk akal, jika cuma dilihat dari sudut kebendaannya.
Peristiwa yang lebih terasa aneh lagi terjadi saat kerbau Kiai Slamet dikirab berkeliling ke sebagian wilayah Kota Solo.
Pada saat itu kadang-kadang ada sebagian warga yang berusaha memperoleh kotoran atau tletong kerbau milik keraton tersebut, kemudian dibungkus dan dibawa pulang. Berbagai peristiwa aneh itu bagai tak pernah lekang oleh zaman. Selalu saja muncul tatkala malam 1 Sura datang di Keraton dan Pura. Seribu alasan pun terungkap. Ada yang menjawab untuk ngalap berkah, namun ada pula yang sekadar melakukan tradisi.
Kehadiran Kebo-kebo bule di tengah Kirab malem 1 Syuro oleh Karaton Surakarta Hadiningrat melahirkan beragam pertanyaan baik bagi turis asing maupun orang-orang di luar etnis Jawa, bahkan orang-orang Jawa sendiri. Stasiun TV nasional dan kantor berita asing pernah menanyakan kepada saya tentang makna apa yang termuat atas kehadiran kerbau-kerbau yang menduduki posisi terdepan dalam ritual kirab malem 1 Syura.
Bagi orang-orang Solo sendiri, Kebo Bule Karaton yang berjumlah 12 ekor tersebut dipercaya mempunyai mukjisat atau kekuatan gaib, termasuk binatang yang dikeramatkan. Banyak cerita seputar Kebo-kebo bule itu yang dianggap bukti adanya kekuatan gaib dan punya mukjisat dan keramat itu. Menurut kisahnya, orang-orang Pekalongan melihat Kebo Bule tersebut dan melaporkan ke Karaton, bagaimana mungkin sampai di sana yang jaraknya lebih dari 250 Km dari Karaton Solo. Juga pernah ada yang melihatnya sampai di Ponorogo Jawa Timur yang jaraknya lebih dari 100 km dari Karaton, di Wonogiri dan kota-kota lain.
Gaibnya adalah ketika ia mengembara ke berbagai tempat, tetapi mereka tidak pernah lupa akan tugasnya di malem 1 Syura. Tanpa diundang sebelum malam 1 Syura tanpa diketahui datangnya, mereka sudah berada di Karaton menunggu tugasnya yang mulia, Sang Penuntun (cucuk lampah) dalam kirab Karaton. Tidak diketahui bagaimana cara kebo itu pulang, tiba – tiba saja ia sudah berada di tempatnya.
Keramat.
Pelajaran Kebo Bule
Orang sering meremehkan keberadaan Kebo Bule karena mungkin sosoknya binatang. Pada hal, kebinatangannya sangat mulia dari kemanusiaan yang dipunyai manusia. Maka jangan sekali-kali melihat sesuatu makluk dari jenisnya, tetapi haruslah dilihat dari sifat dan karakter perilakunya. Tepat kiranya, para Raja Karaton Surakarta Hadiningrat akhirnya memilih dan menempatkan kedudukan paling depan kepada Kebo Bule itu, karena memang ia mempunyai nilai luhur yang patut dicontoh oleh manusia, sebagai Sang Penuntun.
Bayangkan saja, peranannya tidak tanggung-tanggung, sebagai cucuk lampah. Ini peranan yang utama dan sangat mulia. Ia adalah pengawal, penunjuk jalan, karena Raja melihat bahwa mata batinnya, meskipun fisiknya Kebo Bule, tetapi mempunyai daya linuwih dibandingkan manusia yang sudah terinfeksi oleh halunisasi dan virus-virus materi serta imajinasi surga dunia.
Tidak heran jika di malem 1 Syuro orang-orang ramai-ramai memperebutkan kotoran Kebo Bule. Ini adalah bukti nyata bahwa Kebo Bule mempunyai kekuatan gaib, yang dipercaya orang-orang Jawa mampu mendatangkan berkah. Bahwa yang sebenarnya, adalah bentuk penghormatan yang tinggi terhadap eksistensi dan kemuliaan yang dimiliki oleh Kebo Bule.
Agaknya, orang-orang Jawa memandang Kebo Bule bukan saja simbol, tetapi benar-benar menjadi panutan. Sebagai Sang Panutan, ia adalah binatang bijak, sabar dan kuat. Ia dengan sukarela menyerahkan dirinya untuk menjadi korban dalam ritual-ritual, ia dengan senang hati membantu petani membajak sawah di tengah terik matahari dan hujan lebat, ia pun di malam 1 Syura dengan tulus iklas dan suka cita, mengawal Raja Kasunanan, para Pangeran, Adipati, Tumenggung dan Pusaka-pusaka Keramat Keraton Surakarta Hadiningrat. dan bersyukur.
Penanggalan tahun Hijriah dan Tahun Jawa
Menurut Tahun Saka (Jawa) yang sekarang ini telah mencapai hitungan ke 1944. Untuk tahun ini datangnya tanggal 1 Suro 1944 bertepatan pada malam Selasa Wage tanggal 1 Muharram 1432 Hijriah atau 7 Desember 2010 Masehi.
Perbedaan kalender jawa dengan kalender Hijriah yakni kalender Jawa relatif lebih tetap sifatnya atau relatif tidak ada perubahan dari dulu sampai sekarang. Jikalau dilakukan penghitungan maka waktu jatuhnya lebih dapat di pastikan sementara kalender hijriyah mengikuti pergerakan bulan jadi bisa bergeser 1 hari / 2 hari.
Akan tetapi suroan acap kali dianggap sama dengan tahun Hijriah,
jadi misalnya untuk 1 sura 1945 tahun WAWU Windu Kuntara akan jatuh pada tanggal 27 November 2011. tanggalnya pasti, akan tetapi kalau 1 muharam bisa jadi kurang dari tanggal tersebut atau bisa lebih dari tanggal tersebut.
Ke dua sistem penanggalan tersebut memang sama - sama menggunakan sistem penanggalan Qomariyah atau lunar sistem, hanya saja yang membedakan ialah di kalender jawa sudah di pastikan 5 pasaran yang berulang dan 7 hari yang berulang
(jika menganut sistem saptawara).
Nama Hari Siklus 7 hari, Saptawara = Padinan:
Radite = Akad
Soma = Senen
Anggara = Slasa
Budha= Rebo
Respati = Kemis
Sukra = Jemuwah
Tumpak/Saniscara = Setu
Asal kata dan Arti nama Hari (Padinan)
Akad (minggu), berasal dari kata Arab “ahad”, yang berarti hari pertama.
Senen (Senin), berasal dari kata Arab “istnain”, yang berarti hari kedua.
Slasa (Selasa), berasal dari kata Arab “tsalatsah”, yang berarti hari ketiga.
Rebo (Rabu), berasal dari kata Arab “arba’ah”, yang berarti hari keempat.
Kemis (Kamis), berasal dari kata Arab “khamsah”, yang berarti hari kelima,
Jemuwah (Jum’at), berasal dari kata Arab “jumu’ah”, yang berarti hari untuk berkumpul,
Setu (Sabtu), berasal dari kata Arab “sab’ah” (sabat), yang berarti hari ketujuh.
Hubungan pasaran, empat unsur dan Sedulur 4 itu adalah sebagai berikut :
Pasaran Legi bertempat di Timur, Anasir (elemen) Udara, memancarkan sinar putih.
Pasaran Paing bertempat di Selatan, anasir Api, memancarkan sinar merah.
Pasaran Pon bertempat di Barat, anasir Air, memancarkan sinar kuning.
Pasaran Wage bertempat di Utara, anasir Tanah, memancarkan sinar hitam. Pasaran Kliwon tempatnya di pusat atau di tengah, anasir Eter, memancarkan sinar manca warna.
Dalam penetapan 1 Suro, pihak kraton menggunakan penanggalan atau kalender internal kraton yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang merupakan cikal bakal dinasti Kasunanan Surakarta dan Istana Mangkunegaran di Solo serta Kasultanan Yogyakarta dan Istana Paku Alaman di Yogyakarta.
Setiap malam 1 Suro Kraton Surakarta selalu menggelar rangkaian upacara adat kraton. Salah satu acara yang selalu mendapat perhatian umum adalah kirab pusaka milik kraton yang didahului dengan mengarak kawanan kerbau pusaka milik kraton.
Meskipun Istana Mangkunegaran merupakan salah satu pecahan dinasti Mataram, namun dalam peringatakan 1 Suro atau 1 Muharam, mereka menggunakan dasar kalender yang ditetapkan Pemerintah.